
Geng Motor Dan Anak Muda: Antara Eksistensi Dan Kekerasan
Geng Motor Dan Anak Muda: Antara Eksistensi Dan Kekerasan

Geng Motor fenomena ini, di Indonesia telah berkembang menjadi lebih dari sekadar hobi atau komunitas otomotif. Kini, istilah geng motor sering dikaitkan dengan tindakan kriminal, kekerasan jalanan, dan gangguan keamanan di berbagai kota besar. Yang memprihatinkan, pelaku dari berbagai insiden tersebut banyak berasal dari kalangan remaja dan anak muda.
Menurut data yang dihimpun oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, selama tahun 2023, tercatat lebih dari 380 kasus kejahatan jalanan yang melibatkan geng motor di wilayah Jabodetabek, dengan mayoritas pelaku berusia 15–22 tahun. Sebagian besar pelaku merupakan pelajar atau putus sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa geng motor kerap menjadi “tempat pelarian” bagi remaja yang mengalami krisis identitas atau tekanan lingkungan.
Psikolog Jane Cindy dari RS Pondok Indah Bintaro menjelaskan bahwa masa remaja merupakan periode ketika individu sedang giat mencari jati diri. Dalam proses tersebut, pengaruh teman sebaya menjadi sangat dominan. Ketika seorang remaja merasa kurang diterima atau tidak dihargai di lingkungan keluarga atau sekolah, mereka cenderung mencari pengakuan di luar rumah — dan geng motor kerap menjadi wadah yang menyediakan rasa ‘keluarga’ dan solidaritas kelompok yang mereka butuhkan.
“Geng Motor bisa memberikan rasa eksistensi yang tidak mereka dapatkan di tempat lain,” ujar Jane. “Sayangnya, eksistensi itu sering kali ditunjukkan melalui aksi-aksi ekstrem dan destruktif. Banyak dari mereka merasa dihargai ketika berani melawan aturan. Dalam situasi seperti itu, kekerasan dianggap sebagai bentuk pengakuan diri.
Geng Motor: Akar Kekerasan Sosial Ekonomi, Dan Pendidikan
Geng Motor: Akar Kekerasan Sosial Ekonomi, Dan Pendidikan masalah ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang lebih luas. Menurut survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak pada 2022, 62% anak muda yang bergabung dengan geng motor berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Dalam banyak kasus, mereka hidup di lingkungan padat penduduk dengan akses terbatas terhadap pendidikan berkualitas dan ruang bermain yang sehat.
Di daerah perkotaan seperti Jakarta, Medan, dan Makassar, munculnya geng motor sering berakar dari kemiskinan struktural. Minimnya lapangan kerja bagi remaja, kurangnya kegiatan ekstrakurikuler yang positif di sekolah, serta lemahnya pembinaan dari lembaga pendidikan membuat anak-anak muda mudah terpengaruh oleh ajakan kelompok yang menawarkan “kekuatan”, “kebanggaan”, dan “pengakuan”.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada kelompok usia 15-24 tahun mencapai 18,1%, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 5,5%. Angka ini mencerminkan betapa rentannya kelompok usia muda dalam menghadapi tekanan ekonomi dan sosial, sehingga rentan terseret ke dalam perilaku menyimpang seperti menjadi anggota geng motor. Kurangnya kesempatan kerja yang memadai memperburuk situasi, menjadikan remaja lebih mudah terjerat dalam pilihan yang tidak sehat. Hal ini menunjukkan pentingnya peningkatan akses pendidikan dan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
“Masalah geng motor bukan sekadar soal kriminalitas. Ini adalah refleksi dari kegagalan sistemik dalam menyediakan ruang dan kesempatan tumbuh bagi generasi muda,” kata sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Wahyu Kurniawan. Ketidakmampuan sistem untuk memberikan harapan dan peluang mengarah pada perasaan teralienasi di kalangan remaja. Tanpa dukungan yang memadai, mereka lebih rentan memilih jalan pintas yang bisa berujung pada kekerasan dan tindakan ilegal.
Peran Keluarga Dan Lingkungan Dalam Pencegahan
Peran Keluarga Dan Lingkungan Dalam Pencegahan keluarga adalah institusi pertama yang membentuk kepribadian anak. Ketika hubungan antara anak dan orang tua renggang, atau ketika pola asuh bersifat otoriter dan penuh tekanan, anak akan mencari pelampiasan di luar rumah. Dalam banyak kasus, geng motor menyediakan ‘komunitas alternatif’ yang menjanjikan kebebasan, pengakuan, dan solidaritas — meski dengan konsekuensi kriminal.
Psikolog Reza Indragiri Amriel menyatakan bahwa pola pengasuhan permisif dan ketidakhadiran orang tua karena alasan pekerjaan atau perceraian juga berkontribusi terhadap perilaku menyimpang anak. “Banyak remaja yang tidak mendapat kontrol sosial dari orang tua akhirnya mendapatkannya dari lingkungan yang salah,” jelasnya. Hal ini menyebabkan remaja cenderung mencari perhatian atau pengakuan dari kelompok yang salah. Akibatnya, mereka terjerat dalam perilaku yang tidak sehat dan berisiko tinggi.
Selain keluarga, sekolah dan lingkungan sosial juga memainkan peran penting. Sayangnya, banyak sekolah yang hanya fokus pada aspek akademik dan mengabaikan kebutuhan emosional dan psikososial siswa. Ini menciptakan ruang kosong yang mudah diisi oleh pengaruh eksternal, termasuk geng motor. Lingkungan yang tidak mendukung perkembangan karakter dapat memperburuk keadaan ini. Remaja yang merasa terabaikan cenderung mencari rasa diterima dan dihargai di tempat lain.
Beberapa daerah telah mencoba melakukan intervensi. Kota Cimahi, misalnya, menggandeng pihak sekolah untuk melakukan deteksi dini terhadap siswa yang berpotensi terlibat geng motor. Mereka membentuk Satgas Anti-Kekerasan dan melakukan patroli gabungan antara Satpol PP, Dinas Pendidikan, dan kepolisian pada jam-jam rawan. Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi siswa. Selain itu, hal ini memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan psikososial remaja di luar kegiatan akademik.
Membangun Solusi Holistik: Dari Penindakan Hingga Rehabilitasi
Membangun Solusi Holistik: Dari Penindakan Hingga Rehabilitasi penanganan geng motor selama ini cenderung bersifat represif—dengan penangkapan massal dan patroli rutin sebagai strategi utama. Namun, pendekatan ini tidak menyentuh akar permasalahan. Untuk menyelesaikannya secara menyeluruh, dibutuhkan strategi holistik yang bersifat preventif, edukatif, dan rehabilitatif.
Pertama, perlu dihidupkan kembali kegiatan positif yang mampu menyalurkan energi remaja secara sehat, seperti olahraga, seni, kewirausahaan, dan komunitas kreatif. Pemerintah daerah dapat bermitra dengan komunitas motor legal untuk memberikan edukasi soal etika berkendara dan solidaritas sosial.
Kedua, sekolah harus mendapatkan dukungan dalam menerapkan program konseling serta pelatihan bagi guru untuk mendeteksi gejala perilaku menyimpang secara dini. Intervensi psikologis yang tepat bisa menjadi benteng awal bagi remaja di lingkungan rawan.
Ketiga, perlu disiapkan program rehabilitasi bagi anggota geng motor yang tertangkap atau ingin keluar. Misalnya, beberapa Lapas Anak telah bekerja sama dengan pelatih otomotif dan wirausaha untuk membekali keterampilan praktis.
Contoh baik datang dari Bandung, di mana komunitas seperti XTC dan GBR telah berubah menjadi organisasi legal yang aktif di kegiatan sosial. Ini membuktikan bahwa jika diberi ruang dan bimbingan, energi anak muda dapat diarahkan ke arah yang lebih positif.
Geng motor memang telah menjadi salah satu bentuk perlawanan dan ekspresi identitas bagi sebagian anak muda, terutama yang merasa terpinggirkan dari sistem sosial. Namun, ketika eksistensi itu dibangun di atas kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hukum, maka kita semua harus bertindak.
Pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menciptakan ruang aman, sehat, dan produktif bagi generasi muda. Mereka tidak hanya butuh larangan dan hukuman, tetapi juga pendampingan, pemahaman, dan harapan. Karena pada akhirnya, anak muda bukan musuh. Mereka adalah potensi yang perlu diselamatkan dari jebakan kekerasan — dan dituntun ke jalan yang lebih bermakna, jauh dari bayang-bayang Geng Motor.