
Perempuan Dan Anak Jadi Sasaran Rentan Di Dunia Digital
Perempuan Dan Anak Jadi Sasaran Rentan Di Dunia Digital

Perempuan Dan Anak berada di garis depan kerentanan di tengah arus deras transformasi digital yang melanda berbagai aspek kehidupan. Tantangan besar yang sering kali luput dari perhatian kini mengemuka: meningkatnya kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak terhadap mereka di ruang maya. Internet, yang awalnya digadang sebagai ruang inklusif untuk berbagi informasi dan memperluas koneksi, justru menjadi ladang subur bagi berbagai bentuk kejahatan berbasis gender dan usia. Dalam dunia tanpa batas ini, privasi, keamanan, dan keselamatan perempuan dan anak menjadi isu krusial yang tak bisa diabaikan.
Di era digital yang serba terhubung ini, internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Perkembangan teknologi informasi membawa banyak manfaat—dari kemudahan akses pendidikan hingga peluang ekonomi digital. Namun, di balik segala potensi positif itu, muncul pula ancaman baru yang tidak kalah serius: meningkatnya kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak asasi terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak.
Perempuan Dan Anak menjadi kelompok yang paling terdampak oleh fenomena kekerasan berbasis gender online (KBGO), perundungan siber, penyebaran konten tanpa izin, hingga eksploitasi seksual anak di internet—semua ini menunjukkan bahwa ruang digital belum sepenuhnya aman bagi mereka. Sementara hukum dan kebijakan masih berusaha mengejar pesatnya perubahan teknologi, korban—terutama perempuan dan anak—terus berjatuhan, sering kali dalam diam dan tanpa perlindungan memadai.
Perempuan Dan Anak: Korban Utama Patriarki Digital Di Ruang Siber
Perempuan Dan Anak: Korban Utama Patriarki Digital Di Ruang Siber seiring meningkatnya partisipasi perempuan dan anak di ruang digital, tantangan yang mereka hadapi pun makin kompleks. Kemajuan teknologi yang menjanjikan inklusi justru menyisakan berbagai bentuk kekerasan yang menegaskan patriarki digital. Kekerasan berbasis gender online telah menjadi fenomena global, termasuk di Indonesia, dengan bentuk seperti pelecehan seksual, penyebaran konten intim tanpa izin, pemalsuan identitas, dan doxing. SAFEnet mencatat perempuan lebih sering menjadi sasaran body shaming dan ujaran kebencian dibandingkan laki-laki. Banyak korban merasa tidak aman dan memilih keluar dari ruang digital.
Ironisnya, perempuan yang menyuarakan isu-isu penting justru menjadi target serangan digital terorganisir, menunjukkan bahwa kekerasan ini bersifat sistemik. Sayangnya, pendekatan hukum yang ada belum sepenuhnya berpihak pada korban. Diperlukan sistem yang adil dan responsif, termasuk kemudahan pelaporan, pendampingan psikososial, dan hukum yang sensitif terhadap kekerasan berbasis gender.
Semenatara itu anak-anak sebagai generasi digital menghadapi risiko serius yang kerap luput dari perhatian. Sejak dini mereka akrab dengan TikTok, YouTube, dan game daring, namun di balik hiburan tersebut tersembunyi ancaman eksploitasi seksual daring (OCSEA). UNICEF mencatat Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus OCSEA tertinggi di Asia Tenggara. Pelaku kerap memanfaatkan ketidaktahuan anak melalui grooming dan iming-iming hadiah digital.
Cyberbullying juga marak terjadi, mulai dari penyebaran foto tanpa izin hingga ujaran kebencian yang berdampak pada kesehatan mental, bahkan bunuh diri. Sayangnya, kesadaran orang tua, guru, dan sekolah masih rendah dalam mengantisipasi bahaya ini.
Platform digital belum ramah anak karena lemahnya verifikasi usia dan kurangnya mode khusus anak. Maka, literasi digital harus diperkuat bagi anak, orang tua, dan pendidik. Pemerintah pun perlu mendorong regulasi wajib fitur aman, edukatif, dan ramah anak di semua platform digital.
Regulasi Yang Tertinggal Dan Rendahnya Literasi Digital
Regulasi Yang Tertinggal Dan Rendahnya Literasi Digital salah satu kendala utama dalam melindungi perempuan dan anak di ruang digital adalah ketertinggalan regulasi dibandingkan dengan laju perkembangan teknologi. Banyak kebijakan yang masih bersifat reaktif, belum antisipatif. UU ITE sebagai payung hukum utama masih lebih fokus pada pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, belum mengakomodasi secara penuh kekerasan berbasis gender online atau eksploitasi digital terhadap anak.
Selain itu, aparat penegak hukum dan lembaga pengadilan masih belum memahami secara mendalam dinamika kejahatan digital. Banyak kasus yang berujung pada reviktimisasi korban karena ketidaksensitifan proses hukum. Pelatihan khusus bagi aparat dan pembentukan unit penanganan kekerasan digital berbasis gender dan anak bisa menjadi langkah maju yang penting.
Di sisi lain, rendahnya literasi digital masyarakat memperburuk situasi. Banyak pengguna internet yang tidak menyadari bahwa tindakannya bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Misalnya, menyebarkan konten pribadi orang lain, mengambil foto tanpa izin, atau membuat akun palsu untuk mempermalukan seseorang.
Sementara itu, korban kekerasan digital sering kali tidak tahu hak-haknya atau mekanisme pengaduan yang tersedia. Mereka cenderung diam karena takut disalahkan, dianggap lebay, atau bahkan diancam oleh pelaku.
Pendidikan literasi digital harus dijadikan bagian dari kurikulum sekolah dan program penyuluhan masyarakat. Tidak cukup hanya memahami cara menggunakan gawai, tetapi juga bagaimana bersikap etis, bertanggung jawab, dan sadar akan risiko di dunia digital. Kampanye publik dari pemerintah, media, dan influencer dapat mempercepat perubahan sikap ini di tengah masyarakat luas.
Membangun Ruang Digital Yang Aman Dan Inklusif: Peran Kolektif Semua Pihak
Membangun Ruang Digital Yang Aman Dan Inklusif: Peran Kolektif Semua Pihak meski tantangan sangat kompleks, membangun ruang digital yang aman bagi perempuan dan anak bukan hal yang mustahil. Diperlukan kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, perusahaan teknologi, masyarakat sipil, media, dan individu—untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat.
Beberapa inisiatif sudah mulai terlihat. Komunitas seperti PurpleCode, Konde.co, dan SAFEnet rutin menyelenggarakan pelatihan keamanan digital bagi perempuan dan kelompok rentan. Mereka juga mengadvokasi perubahan kebijakan dan membangun solidaritas korban kekerasan daring.
Di sisi platform digital, beberapa perusahaan besar telah melakukan langkah proaktif. Instagram, misalnya, memungkinkan pengguna membatasi siapa yang bisa mengomentari unggahan mereka. TikTok menyediakan mode khusus anak dan fitur kontrol orang tua. Namun, langkah-langkah ini masih perlu diawasi dan dikembangkan secara berkelanjutan agar tidak hanya menjadi formalitas.
Di tingkat komunitas, sekolah bisa menjadi pelopor pendidikan digital sehat. Guru dapat menjadi agen literasi digital yang mampu membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan dasar keamanan online. Sementara itu, keluarga—sebagai garda terdepan—harus mulai mengubah pola pikir bahwa memberikan gawai adalah solusi pengasuhan. Justru, pendampingan dan dialog aktif tentang aktivitas online anak adalah kunci pencegahan.
Lebih jauh, budaya melindungi dan mendukung korban kekerasan digital harus dibangun. Alih-alih menyalahkan, masyarakat perlu menjadi ruang aman bagi korban untuk berbicara. Media juga harus lebih bertanggung jawab dalam memberitakan isu-isu kekerasan digital dengan sudut pandang korban, bukan sensasi.
Dunia digital adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Namun, jika tidak diatur dan diawasi dengan tepat, ruang ini bisa menjadi tempat yang menakutkan. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi bisa terjadi dalam sekejap dan berdampak jangka panjang. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan isu perlindungan digital sebagai prioritas bersama. Dengan meningkatkan literasi, memperbaiki regulasi, serta membangun gerakan kolektif, kita bisa menjadikan ruang digital sebagai tempat yang adil, aman, dan berdaya untuk semua—terutama bagi Perempuan Dan Anak.