
Maraknya Hoaks Digital Jadi PR Besar Literasi Masyarakat
Maraknya Hoaks Digital Jadi PR Besar Literasi Masyarakat

Maraknya Hoaks Digital di tengah meningkatnya konektivitas digital, Indonesia menghadapi tantangan serius berupa penyebaran hoaks. Fenomena ini tidak hanya mengganggu tatanan informasi yang sehat, tetapi juga berpotensi mengancam persatuan, keamanan, dan keselamatan publik. Tantangan ini menuntut peningkatan literasi digital masyarakat secara menyeluruh. Bagaimana sebenarnya skala permasalahan ini, apa penyebab utamanya, dan apa solusi yang dapat dilakukan?
Perkembangan teknologi digital membawa dampak luar biasa terhadap pola konsumsi informasi masyarakat. Dengan lebih dari 212 juta pengguna internet di Indonesia per Januari 2024 (menurut Datareportal), masyarakat kini sangat bergantung pada platform digital seperti WhatsApp, Facebook, dan TikTok untuk mengakses berita sehari-hari. Sayangnya, kecepatan arus informasi ini justru dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menyebarkan hoaks.
Berdasarkan laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sepanjang tahun 2023 tercatat sebanyak 17.402 konten hoaks telah diidentifikasi dan ditangani. Tema hoaks terbanyak meliputi politik, kesehatan (khususnya seputar vaksin dan COVID-19), bencana alam, serta isu-isu keagamaan dan SARA. Bahkan, menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), sebagian besar hoaks menyasar pengguna media sosial berusia di atas 40 tahun yang kurang terpapar edukasi digital.
Maraknya Hoaks Digital membawa dampak sangat serius bagi masyarakat. Hoaks vaksin COVID-19 tentang chip di dalamnya sempat membuat publik ragu dan menurunkan kepercayaan terhadap program vaksinasi nasional.
Hoaks penculikan anak yang viral menciptakan kepanikan massal dan menyebabkan aksi main hakim sendiri yang membahayakan keselamatan warga sekitar.
Maraknya Hoaks Digital: Rendahnya Literasi Digital
Maraknya Hoaks Digital: Rendahnya Literasi Digital literasi digital merupakan kemampuan individu dalam memahami, menganalisis, dan memanfaatkan informasi secara bijak dan bertanggung jawab di ruang digital. Sayangnya, hasil Survei Indeks Literasi Digital Nasional 2023 yang dirilis Kominfo dan Katadata Insight Center menunjukkan skor Indonesia hanya mencapai 3,54 dari skala 5—masih dalam kategori “sedang”.
Komponen literasi yang paling lemah adalah kemampuan kritis mengevaluasi informasi dan penggunaan teknologi secara etis. Sementara, banyak pengguna internet masih sekadar menjadi “konsumen pasif” informasi, bukan sebagai pengguna aktif yang mampu memverifikasi sumber dan konten yang diterima. Berdasarkan survei APJII, sekitar 70% pengguna internet di Indonesia belum memiliki keterampilan kritis dalam memverifikasi informasi. Kurangnya pendidikan literasi digital juga berkontribusi pada rendahnya kesadaran tentang bahaya hoaks, yang semakin meresahkan masyarakat.
Faktor penyebab rendahnya literasi digital antara lain:
- Kurangnya pendidikan literasi digital di sekolah-sekolah dan lingkungan keluarga.
- Ketimpangan akses terhadap pelatihan digital antara daerah urban dan rural.
- Minimnya kepekaan masyarakat terhadap isu privasi, keamanan digital, dan verifikasi sumber informasi.
Hasil riset UNESCO juga menyatakan bahwa masyarakat dengan tingkat literasi media yang rendah cenderung lebih mudah terprovokasi oleh konten sensasional, terutama yang sesuai dengan bias atau kepercayaan pribadi mereka. Ini menjelaskan mengapa hoaks politik atau isu agama sering menjadi viral di platform media sosial. Data dari Pew Research menunjukkan bahwa 64% pengguna media sosial lebih cenderung mempercayai informasi yang sejalan dengan pandangan pribadi mereka. Sebanyak 59% hoaks yang beredar di Indonesia terkait isu politik dan agama mendapat respon luas di media sosial.
Upaya Pemerintah Dan Komunitas Dalam Menangkal Hoaks
Upaya Pemerintah Dan Komunitas Dalam Menangkal Hoaks berbagai inisiatif telah dilakukan untuk membendung penyebaran hoaks, baik oleh pemerintah, sektor swasta, hingga komunitas sipil. Kominfo, misalnya, terus memperkuat program literasi digital “Indonesia Makin Cakap Digital” yang menargetkan jutaan peserta dari seluruh provinsi. Pada tahun 2023, lebih dari 5 juta masyarakat telah mengikuti pelatihan daring maupun luring yang mencakup etika digital, keamanan siber, dan verifikasi informasi.
Selain itu, Kominfo juga menjalankan patroli siber untuk mendeteksi dan menindak konten-konten hoaks. Situs seperti cekfakta.com, turnbackhoax.id (oleh MAFINDO), dan fitur “fact-checking” di beberapa media arus utama turut membantu pengguna untuk memverifikasi informasi. Kolaborasi dengan platform media sosial juga diperkuat untuk menanggulangi penyebaran hoaks dengan lebih efektif dan cepat. Pendidikan literasi digital kepada masyarakat menjadi kunci penting dalam mengurangi dampak negatif hoaks di dunia maya.
Sementara itu, beberapa platform seperti Meta dan TikTok telah bermitra dengan lembaga independen untuk menandai atau menghapus konten hoaks, khususnya menjelang Pemilu 2024. Meta Indonesia, misalnya, mengklaim telah menghapus lebih dari 120.000 konten berbahaya sepanjang 2023. Kerja sama ini bertujuan untuk memastikan integritas informasi dan mencegah disinformasi yang dapat mempengaruhi opini publik. Platform-platform ini juga meningkatkan algoritma mereka untuk mendeteksi dan menanggapi konten hoaks dengan lebih cepat dan akurat.
Namun, tantangan tetap ada. Banyak hoaks kini beredar dalam bentuk meme, video singkat, atau narasi personal yang sulit dibedakan dari konten nyata. Hoaks juga menyebar cepat melalui grup tertutup seperti WhatsApp, yang sulit dimonitor oleh otoritas. Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas dinilai paling efektif. Edukasi dari tokoh masyarakat, pemuka agama, dan guru sangat penting untuk membentuk budaya literasi digital yang kuat dari akar rumput.
Membangun Budaya Literasi Digital: Tantangan Dan Harapan Ke Depan
Membangun Budaya Literasi Digital: Tantangan Dan Harapan Ke Depan untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat, pembangunan budaya literasi digital harus menjadi agenda jangka panjang. Ini tidak cukup hanya dilakukan dalam bentuk kampanye sesaat, melainkan memerlukan transformasi di berbagai sektor—pendidikan, media, pemerintahan, hingga keluarga.
Beberapa strategi penting ke depan mencakup:
- Integrasi literasi digital dalam kurikulum sekolah sejak dini, mulai dari jenjang SD hingga SMA.
- Pelatihan literasi media bagi guru dan tenaga pendidik, agar mampu mengajarkan siswa cara berpikir kritis terhadap informasi digital.
- Peningkatan literasi teknologi di kalangan orang tua, mengingat mereka sering menjadi target utama hoaks.
- Mendorong media arus utama untuk aktif melakukan debunking hoaks dan tidak sekadar mengejar klikbait.
- Kolaborasi multi-sektor antara pemerintah, LSM, perusahaan teknologi, dan komunitas untuk menyusun panduan dan mekanisme respons cepat terhadap penyebaran hoaks.
Harapan tumbuh ketika melihat gerakan masyarakat sipil mulai aktif melawan hoaks. Contohnya, gerakan “Tular Nalar” dari Maarif Institute dan MAFINDO telah melatih ribuan relawan untuk menjadi agen literasi di komunitas mereka. Di berbagai desa, relawan ini menjadi sumber edukasi tentang pentingnya berpikir kritis dan cara mengecek fakta sebelum membagikan informasi.
Dalam jangka panjang, kesadaran dan keterampilan literasi digital akan menentukan kualitas demokrasi dan keamanan informasi suatu bangsa. Di era disinformasi seperti saat ini, masyarakat bukan hanya dituntut untuk melek teknologi, tetapi juga melek kebenaran. Pemerintah, sektor swasta, media, dan masyarakat sipil harus bahu-membahu membentuk ekosistem digital yang cerdas dan beretika.
Masyarakat Indonesia memiliki kekuatan besar apabila mampu memanfaatkan teknologi secara bijak. Dengan memperkuat literasi digital, kita tidak hanya melindungi diri dari hoaks, tetapi juga turut menjaga ketahanan bangsa di era informasi yang serba cepat. Di dunia digital yang penuh tantangan, melek informasi adalah bentuk baru dari keberanian dan tanggung jawab dalam menghadapi Maraknya Hoaks Digital.